Devinisi nikmat menurut gue adalah ketika lo bisa melakukan hal yang berbanding terbalik dengan satu keadaan yang terjadi saat itu. Misalnya, lo tetap merasa hangat ketika musim dingin datang. merasa sejuk ketika musim panas tiba. merasa terang disaat mati lampu. Bisa merasa terhibur disaat bosan. Bisa makan disaat lapar. Itu kenapa buka puasa di siang bolong akan terasa lebih nikmat ketimbang ketika makan nggak lagi puasa. Atau, bisa tidur disaat keadaan nggak mengharuskan lu tidur.
sama hal nya dengan perasaan seseorang terhadap seseorang lain nya. ketika hati udah yakin untuk memilih, akan sangan menjadi bahagia ketika yang di pilih menerima nya.
dan untuk itulah kenapa saat ini gue disini, di antara kerumunan orang orang yang lagi asik bercengkrama satu sama lain, berkutat dengan laptop kecil dan menuliskan beberapa kalimat demi kalimat yang gue alami.
Atas dasar dapat mengobati luka lama, gue putuskan untuk mencari penawar nya. Dan pada saat itu liska lah yang tepat. Sudah beberapa orang yang coba gue dekati, namun hasil nya nihil. Keadaan nya seperti orang yang cacingan, tapi di kasih obat batuk. Nggak nyambung. Dan entah atas dasar apa, gue menganggap pada saat itu dia lah obat cacing yang gue cari. Iya, gue emang nggak jago mencari kalimat pengandaian yang tepat.
Tapi disaat sudah menemukan yang tepat, dia pergi bersama orang yang dia anggap tepat. Alih alih pengen mengobati luka, gua malah buat luka baru. akibat nya jadi 2 sekarang.
1. Pacar yang jadian sama selingkuhannya.
2. Gebetan yang jadian sama gebetan nya.
Gue merasa seperti pecandu narkoba yang di masuki ke panti rehabilitasi. Berjuang sendiri untuk melawan ‘ketergantungan’ nya. ketergantungan untuk mengobati segala luka dengan penawar yang hanya ilusi.
Ditambah hal lain nya, seperti kontrak kerja yang habis, motor yang ke jual, tabungan tiris, kontrakan belom bayar, spp anak nunggak, dan semua problem yang datang saat itu.
Dan rutinitas tiap malam selalu sama, memantau tweet dari mantan pacar, dan mantan gebetan.
Mereka berdua dengan tega nya mengumbarkemesraan di jejaring social. Seakan tak mengenal toleransi berasmara.
Tapi perlahan semua hal membaik. Gua udah bisa membangun kembali perasaan yang sempat luluh lantah selama 3 bulan. Yang gue percaya, tuhan selalu ngasih apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Gue ingin tetap bertahan dengan yang lama, namun itu bukan yang gue butuh kan. dan memulai dengan yang baru, namun berakhir tak sesuai harapan. Satu persatu ‘lego’ yang sempat berantakan, kembali gua susun. Gue udah nggak mentingin perasaan gue lagi ke mereka. Yang gue tau saat itu adalah, melanjutkan hidup yang sempat tertunda.
Dan semua berjalan seperti biasa. Mereka masih bahagi adengan pasangan nya masing masing. 4 bulan semenjak keluar dari kerjaan lama, dan memasrahkan liska ke orang lain, gue masih berkutat mencari kerjaan baru. Udah puluhan mungkin surat lamaran yang gue kirim, tapi belum juga ada panggilan. Sampai akhir nya, salah satu bank di Indonesia menjawab surat lamaran gue. 2 bulan seleksi, akhirnya gue di terima di bank itu.
Ketika dalam keadaan sendiri, gue sering berfikir, kenapa gue bisa masuk bank ini. Ini jelas kualifikasi yang nggak bisa di temukan dari diri gue. Ijazah, sebates SMK. Itu pun jurusan nya teknik elektronika. Nggak kebayang aja saat itu yang gue solderin duit nasabah. Penampilan, jelas nggak seperti ‘orang orang bank’ yang necis itu. Apa sih yang kalian bayangkan dari seorang banker? Rambut klimis, muka mulus, sepatu mengkilap, tutur kata tersusun rapih. Sementara gue? Rambut kriting ala ala aborigin, badan pendek,sikap ceroboh, dan masih suka melakukan hal hal aneh semisal ngupil pake jempol kaki.
Untuk urusan pengetahuan perbankkan juga gue sama sekali buta. Malah sewaktu kecil gue mengira kalo mesin atm itu semacem mesin judi, yang ketika menang, langsung bisa mengeluarkan uang dari mesinnya. Waktu dijelasin apa kegunaan dari atm silver pada saat pembuatan atm sekitar 6 tahun yang lalu oleh CS di bank lain, gue sama sekali blank. Yang gue perhatiin saat itu Cuma paras cantik mba mba customer service nya. Gue ngeri aja begitu diakelar jelasin, dia langsung ngeluarin secarik soal di kertas, dan bilang, ‘oke,udah siap ujiannya?’
Tapi seperti yang gue bilang di awal tadi, kaya nya tuhan lagi memberikan teori ‘memberi yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.’ Kepada gue. Yang gue rasaiin sih seperti itu. Sebab dari dulu, kerjaan yang paling gue hindari Cuma satu, kerjaan yang berhubungan dengan ketelitian macam teller ini. Salah salah bisa rugi. Setidaknya 5 juta pernah gue lenyapkan dalam waktu kurang dari 5 menit. Tapi untungnya uang itu kembali setelah ada negoisasi yang alot.
Masuk nya gue ke bank itu ternyata tercium oleh mantan. Sesekali dia massage di facebook, dan nanya, apa iya benar gue kerja di bank itu. Gue mengiyakan. Besok nya, dia minta ketemuan dengan alasan, Cuma pengen ngobrol.
Waktu itu di pertengahan bulan puasa. dia datang dengan setelan kerja. Kaya nya abis dari ketemu, pengen langsung kerja. Masih sama seperti yang dulu, mulai dari sikap nya, cara bicara nya, kebiasaan kebiasaan yang masih gue ingat. Tapi sayang nya, rasa yang sempat membuncah ketika tiap kali ketemu, kini hilang entah kemana. Semua seakan datar. Pertemuan ini bagai pertemuan teman lama yang bertahun tahun tak bertemu, dan akhir nya bertemu kembali. Setelah itu berpisah, tanpa meninggalkan kesan.
‘eh sorry ya aku makan. Kamu bener nggak mau?’ dia menawari semangkuk baso.
‘nggak. Aku puasa.’ Balas gue.
‘hmm.. yowis.’
‘lagi halangan?’ tanya gue lagi.
‘nggak sih, hehe.’ Balas nya
Ada hening yang panjang di sela sela dia mengaduk baso nya.
‘gimana roy? Masih baik kan hubungan nya?’ sapa gue mengawali. Dia mengaduk gelas gelas nya perlahan mengggunakan sedotan. ‘baik..kamu gimana? Kata nya keterima di mandiri?’ balas nya. ‘iya.. alhamdulilah.’Balas gue singkat.
Aneh ya. Dulu setiap ketemu, nggak jarang kita sering ngomongin masa depan berdua. Mau nikah umur berapa, punya anak berapa, tinggal dimana. Namun Sekarang yang di obrolin tentang dia dengan pacar nya yang sekarang. Kebiasaan kebiasaan kalo lagi berdua. Punya hobi sama pada satu hal.Tempat tempat yang sering di kunjungi ketika weekend. Namun yang membuat gue bersyukur ketika mendengar cerita ini adalah, kekuatan cerita ini sama kadarnya seperti seorang anak bocah yang mengabarkan kalo selama ini burung itu bisa terbang, dan ikan bisa berenang. Nothing effect.
Nggak ada lagi harapan dia bakal cerita tentang masalah dia sama pacaranya sekarang. Buat gue, kebahagiaan atau kepahitan yang dia rasakan bareng pacar nya sekarang, nggak lebih penting ketimbang denger berita kalo saiful jamil cukur alis.
Banyak hal yang dia certain selama gue dan dia udah nggak bersama lagi. Dan yang membuat gue tertarik mendengar cerita demi cerita yang dia utarakan adalah, penyesalan dia telah meninggalkan gue. Bermacam alibi yang dia katakan demi meyakinkan gue, kalau ini nggak sepert yang dia inginkan. Semua berjalan tanpa rencana. Dimulai dari coba coba, sampai akhir nya nggak tega untuk ninggalin. Ending nya, mereka jadian, dan gue di tinggal. Miris.
Malem nya, dia mencoba menghubungi gue lewat telpon. sempet males buat ngangkat. Namun demi menjaga perasaan orang yang berbuat baik, akhirnya gue angkat. Mengawali percakapan dengan candaan yang terdengar garing, gue tersenyum getir. Sedikit memaksa, sampai akhir nya tertawa. Sekali lagi, semua demi menjaga perasaan niat baik seseorang.
‘’udah malem juga nih. Besok aku masuk pagi.’’ Akhir nya gue memberanikan diri buat bilang, dilanjut dengan melirik jam, yang saat itu masih jam 10.
‘’ooh.. kamu keganggu ya? Yaudah deh, nggak papa, matiin aja telponnya.’’ Balas nya.
‘’egrrr… bukan, bukan gitu. Aku Cuma..’’ tut.. tut..tut.. telpon terputus. Gue tersenyum sinis. Cara kuno. Dengan begini, dia pikir gue bakal nelpon balik dan bilang, ‘’aduh.. sorry ya, yaudah nggak papa deh udah malem, yu kita lanjut lagi ngobrol nya.’’
Gue merebahkan kepala di atas tumpukan bantal. Hp gue taro di samping kepala. Sesekali meilrik bingkai poto kami berdua dulu yang gue taro sembarang di samping baskom nyokap. Permukaan nya yang tertumpuk debu tebal menandakan, poto itu sudah lama di biarkan bergitu saja.
Bingkai itu dia yang kasih ketika gue ulang tahun. Jam 12 malem dia datang kerumah saat demam menyerang sejak sehari yang lalu. Nggak ada kepikiran bakal ada kejutan sepeti ini. Sembuh dari sakit aja udah syukur alhamdulilah. Namun tak disangka, malem nya dia datang beserta teman gue yang lain dengan membawa seloyang kue khas ulang tahun, beserta kado. Rona rona kebahagiaan tak bisa lagi gue sembunyikan. Sendi sendi yang terasa ngilu akibat demam seharian itu, kini bak kena obat paling mujarab sedunia. Gue langsung semangat, dan besok nya gue sembuh.
Namun itu cerita lawas. Bukan kah setiap hubungan, selalu memberikan bekas kenangan. Nggak peduli indah, atau nista. Bahagia, atau terluka. Pilihan nya sekarang Cuma 2. Menyimpan nya rapat rapat, atau membuangnya cepat cepat.
‘’ini poto mau di taro di mana sebener nya? Sempit tau nggak sih.’’ Nyokap membuyarkan lamunan gue saat dia mau ngambil baskom nya. Dengan reflex gue bilang, ‘’eksel paling bawah masih kosong kaya nya.’’
*****
Hari hari gue jalani sebagai ‘orang bank’ yang selama ini temen temen gue bilang. Agak berlebihan sih sebener nya. Kenapa istilah itu nggak dipake buat profesi lain. Kaya orang pilot, orang sekolah, orang rumahsakit. Dan mereka pikir, gue sama seperti orang bank yang selama ini mereka bayangkan. Rambut klimis, kemeja rapih, sepatu mengkilap. Kalo ngomong, selalu campur bahasa inggris dan istilah istilah perbankan yang nggak di ketahui banyak orang. Kaya misalkan…
‘’tadi pagi gue belum sarapan. Kaya nya nanti siang nih perut butuh kredit tanpa anggunan deh.’’
‘’sory.. sory.. isi perut abis ke debit. Maka nya tadi lama di toilet.’’
‘’kenapa sih dia tega ninggalin gue. Padahal kan perasaan gue ke dia nggak pernah limit.’’
Nggak gitu juga sih ya.
Padahal kalo mereka mau tau ‘kisah’ nya, jelas mereka akan berfikir dua kali untuk menyebut gue dengan sebutan.. ‘orang bank.’
Mari kita mulai.
Selepas menandatangani kerja sama kontrak siang itu, gue dibuat kaget, lantaran gue mendapati cabang yang menurut gue nih daerah baru ditemukan belum lama ini. Dengan teknologi yang masih minim, jaringan sinyal yang susah, orang orang yang masih berburu babi, dan.. indomaret yang langka.
‘’tanjung priuk.’’
Begitu surat itu menjelaskan. Gue mendapati kenyataan pahit, bahwa ternyata tempat kerja gue berada disini, di ujung Jakarta. Sebelum nya gue membayangkan bakal di tempat kan di daerah elit macam kuningan atau sudirman. Kalo sore nongkrong di starbuck, ngopi ngopi cantik sambil ngebahas keluaran barang barang bermerek. Maleman dikit, ngadain party di da vinci. Weekend nya, jadi simpenan om om.
Sampe di lokasi, pemandangan yang tak lazim datang lagi. Jadi kantor cabang gue terletak bener bener di ujung Jakarta persis. Bahkan kalo lagi di pantry, gue bisa ngeliat laut lepas dengan jejeran kapal yang bersandar. Tempat cabang gue berada adalah sebuah pelabuhan penumpang.
Untuk menunggu sebuah kapal datang, waktu nya nggak bisa di tebak. Efek cuaca saat perjalanan salah satu alasannya. Maka nya, dari pada para penumpang ketinggalan kapal, mereka lebih memilih datang duluan. Duluan nya disini juga bukan barang sejam dua jam. Waktu nya bisa sampe sehari dua hari. Berhubung tingkat ekonomi para penumpang ini masuk kategori kebawah, mereka lebih memilih untuk tidur dipelabuhan dengan alas seadanya, ketimbang harus menyewa penginapan. Maka nyanggak heran, begitu gue mau masuk kedalem, gue di hadang oleh jejeran ibu ibu yang lagi selonjoran didepan cabang. Dan seketika, kantor gue berubah jadi barak pengungsi.
Menurut gue, lingkungan mempengaruhi cara bersikap, dan bergaul sesorang. Pun demikian dengan orang orang di tanjung priuk. Alih alih ngebayangin punya nasabah ‘orang orang besar’, wanita wanita cantik, gue malah selalu di banjiri oleh kuli kuli pelabuhan, calo calo tiket, pendatang luar jawa, dan bahkan.. preman yang mau menyetorkan hasil kerja mereka tiap harinya. Uang yang lecek, bau keringat yang semerbak, dan riuh renyah rengekan anak kecil , selalu menghiasi ruang lingkup kantor.
Di dunia perbankan, ada istilah yang nama nya nasabah prioritas. Mungkin istilah ini sudah di ketahui banyak orang. Nasabah prioritas adalah nasabah yang memberikan base terbesar pada satu bank. Biasa nya mereka akan melakukan apa saja, demi membuat si nasabah merasa nyaman dalam menjalankan transaksi perbankannya. Dan salah satu yang menjadi nasabah prioritas dari cabang gue adalah, Jakarta international countener terminal. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penumpukan countener. Istilah sederhana nya gini. Umpama satu perusahaan mau mengekspore atau mengimpor barang mereka melalui laut. Tentunya harus ada terminal tempat tuh kapal bersandar. Sebagai mana datang nya kapal yang nggak bisa di predikisi, pelayanan pembayaran JICT ini sudah barang tentu 24 jam. Dan yang gue bilang di awal tadi, bahwa satu bank akan melakukan apa saja untuk ‘memanjakan’ nasabah prioritasnya, jadi lah cabang gue ini mempunyai inisiatif buat mengirimkan karyawannya untuk bertugas di loket pembayaran. Dan yang gue bilang tadi, loket ini 24 jam.
Beragam pertanyaan pun muncul dari orang orang terdekat.
‘’emang bank sabtu minggu buka?’’
‘’kok kerja di bank tapi masuk nya malem sih?’’
‘’nggak kerja jam segini?’’
‘’kamu anak siapa sih? Kok ganteng banget.’’
Biasa nya kalo udah gini, gue bakal pura pura mati. Males aja gitu harus nyeritain dari awal lagi. Sama kaya gue harus mengulang tulisan ini dari awal paragraph. Grrrh.
Banyak hal yang harus gue ubah ketika gue berada di lingkungan orang orang yang tingkat disiplinnya tinggi. Semua berjalas atas nama prosedur. Dulu waktu bekerja di tempat lama, gue sering menyepelekan satu prosdur yang jenis nya sepele, dengan alasan, ‘Cuma gini doang kok’. Tapi disini, ngak ada toleransi. Gue inget betul bagaimana gue harus masuk keruang kepala cabang hanya karna salah nyairin cek, meski nilai nya sama. Gue juga inget ketika harus cape cape nelponin nasabah Cuma gara gara lupa nyantumin KTP dan tanda tangan. Atau, masih berasa di ingatan ketika harus ngebatalin transaksi Cuma gara gara kurang masukin berita buat pengirim saat transfer.
Susah memang membiasakan diri untuk mengikuti kebiasaan disatu lingkungan, yang sebelum nya belum pernah kita tumpangi. Berat memang harus berpura pura pada diri sendiri buat bilang, hey, im fun. Tapi itu lah kenyataan hidup. Setidak nya, untuk mendapatkan sesuatu, kita juga harus mengorbankan sesuatu. Beberapa hal yang gue pelajari disini adalah, untuk bisa di bayar mahal, lo harus punya sikap yang nggak murah.
*******
Gue adalah salah satu orang yang paling sulit meninggalkan sesuatu yang menurut gue udah nyaman. Maka dari itu gue selalu suka ngeganti chanel tv pake kaki. Nggak tau kenapa. Salah satu elemen yang membuat gue nyaman dan sulit untuk di tinggalkan adalah teman.
Selepas keluar dari kerjaan lama, hal yang sulit di tinggalkan meski udah kegantikan, ya teman. Seminggu dua minggu gue selalu luangkan waktu bertemu, bercengkrama, seolah mengulang keceriaan dulu yang pernah tercipta.
Namun semenjak jadwal ‘nguli’ yang padet banget, waktu guebuat kumpul semakin jarang. Maka dari itu, selepas pulang kerja, hari jumat, dipertengahan 2104 gue sempatkan untuk datang di acara buka puasa bersama. Awal nya ketemuan di gramed. Tapi karna gue telat, gue di intruksikan untuk langsung kede cost atrium senen.
Gue tiba dengan masih beraromakan asep countener. Memandang kesemua yang datang, ternyata tinggal gue yang di tunggu saat itu.
‘’belum pada pesen?’’ gue berbisik ke andi.
‘’udah pada abis bego. Lo sih lama.’’ Sewot andi.
Jadi lah gue makan sendiri, berteman piring piring kotor.
Selepas makan, seperti biasa, kita ngobrol ngawur ngidul. Gelak tawa demi tawa terdengar sampai ke meja sebelah. Belum kelar selesai ketawa, tiba tiba Nampak satu sosok yang selama ini ramai di bicarakan sama anak anak, antara gue, dan dia. Iya, andika.
‘’eh.. elu dik.’’ Sapa nurdin. ‘’makan… makan.. masih ada nih.’’
‘’iya iya, sorry yak telat.’’
Sempat hening beberapa saat ketika dia menyedok nasi. Terselip kecanggungan antara gue dan dia saat itu. Beruntunglah kita berdua diselamatkan oleh kehadiran anak anak. Bahasan topic yang di bicarakan juga udah nggak menyangkut soal cinta segitiga, antara teman atau pacar. Kita udah sama sama dewasa. Dan gue sadar itu. Dia menggunakan cara yang halal, gue pun juga. Beda nya dia halal versi MUI, gue versi majlis taklim. Ini apalagi sih.
Selepas makan, Nggak jelas sebener nya malam itu kita pada mau kemana lagi. Yang penting sih sebener nya ngumpul nya itu. Ketawa bareng, ngakak bareng, itu yang di cari. Tapi beberapa lainnya ada yang pulang duluan karna urusan lain. Harry mengulkan buat maen PS di salah satu mantan rekan kerja kita saat itu di bilangan kali bata. Belum nyampe sana, bbm dari dia masuk, dan bilang hari ini ps nya nggak buka.
Waktu udah masuk jam 11 malem, tapi kita masih ngiter ngiter nggak jelas.
‘’mau kemana sih kita sebener nya?’’ johar gemas saat kita berhenti di depan toko yang udah tutup.
‘’yaudah, makan aja yuk.’’ Usul gue.
’makan dimana?’’ Tanya nya lagi.
’situ tuh, kaki lima depan makam pahlawan aja.’’ Balas gue, diiringi deru sepeda motor yang berjalan di belakang. Sisa teman yang makan malam itu berkurang. Tinggal gue, johar, nurdin, ridwan, hendra, dan… andika.
‘’lo pesen apa jo? ‘’ Tanya nurdin ke johar.
‘’soto ayam aja kali ya.’’
Kita duduk di meja panjang kaki lima, di daerah kali mata. Suasana udah mulai sepi. Maklum, jam 1 malem kita datang. Beberapa tenda yang ada juga udah mulai beres beres. Kebanyakan menu yang kita pesen juga uda mulai abis.
Gue duduk di depan hendra, pojok kiri. Sementara nurdin dan ridwan di samping kanan gue. Sisanya, paling pojok kanan johar dan andika.
Kelar makan, sebener nya gue udah mulai ngantuk. Seharian gue nguli di pelabuhan, dan jam 1 belum tidur. Hendra ngajak becanda, tapi gue acuhkan. Melihat gue nggak asik buat di ajak becanda, dia pun focus ke hapenya. Di pojok kanan, samar sama johar, nurdin, dan andika sedang membicarakan satu topic.
‘’geberrrr terus.’’ Celetuk nurdin ke andika.
Gue membuyarkan lamunan. Bukan maksud kepo, tapi jarak antara mereka ngobrol dengan telinga gue, nggak cukup jauh buat nggak bilang, ‘’ih..siapa yang nguping.’’
‘’pantes yang lama di tinggal. Udah ada yang baru. Hahaha.’’Johar kembali menimpali.
Gue semakin penasaran. Dengan sedikit menajamkan pendengaran, kali ini gue mengakui, kalo gue udah mulai nguping.
‘’emang masalah nya kenapa sih?’’ johar kembali nanya. Yang diTanya enggan memberi jawaban.
Saat itu, tepat jam setengah 2 malam, saat gue menganggap, diri ini bagai sebongkah api unggun yang api nya padam terguyur hujan. Tak adalagi kehangatan yang bisa di harapkan dari sebongkah api unggun yang basah. Abunya sudah menyatu bersama deras nya hujan. Namun semua berbeda, dan cerita nya menjadi lain ketika saat itu yang keluar dari mulut dia adalah..
‘’iya, gue putus sama dia.’’
Dan gue melihat, masih ada sedikit bara, di api unggun itu.
Kaki Lima Kali bata, 25 Juli 2014
sama hal nya dengan perasaan seseorang terhadap seseorang lain nya. ketika hati udah yakin untuk memilih, akan sangan menjadi bahagia ketika yang di pilih menerima nya.
dan untuk itulah kenapa saat ini gue disini, di antara kerumunan orang orang yang lagi asik bercengkrama satu sama lain, berkutat dengan laptop kecil dan menuliskan beberapa kalimat demi kalimat yang gue alami.
Atas dasar dapat mengobati luka lama, gue putuskan untuk mencari penawar nya. Dan pada saat itu liska lah yang tepat. Sudah beberapa orang yang coba gue dekati, namun hasil nya nihil. Keadaan nya seperti orang yang cacingan, tapi di kasih obat batuk. Nggak nyambung. Dan entah atas dasar apa, gue menganggap pada saat itu dia lah obat cacing yang gue cari. Iya, gue emang nggak jago mencari kalimat pengandaian yang tepat.
Tapi disaat sudah menemukan yang tepat, dia pergi bersama orang yang dia anggap tepat. Alih alih pengen mengobati luka, gua malah buat luka baru. akibat nya jadi 2 sekarang.
1. Pacar yang jadian sama selingkuhannya.
2. Gebetan yang jadian sama gebetan nya.
Gue merasa seperti pecandu narkoba yang di masuki ke panti rehabilitasi. Berjuang sendiri untuk melawan ‘ketergantungan’ nya. ketergantungan untuk mengobati segala luka dengan penawar yang hanya ilusi.
Ditambah hal lain nya, seperti kontrak kerja yang habis, motor yang ke jual, tabungan tiris, kontrakan belom bayar, spp anak nunggak, dan semua problem yang datang saat itu.
Dan rutinitas tiap malam selalu sama, memantau tweet dari mantan pacar, dan mantan gebetan.
Mereka berdua dengan tega nya mengumbarkemesraan di jejaring social. Seakan tak mengenal toleransi berasmara.
Tapi perlahan semua hal membaik. Gua udah bisa membangun kembali perasaan yang sempat luluh lantah selama 3 bulan. Yang gue percaya, tuhan selalu ngasih apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Gue ingin tetap bertahan dengan yang lama, namun itu bukan yang gue butuh kan. dan memulai dengan yang baru, namun berakhir tak sesuai harapan. Satu persatu ‘lego’ yang sempat berantakan, kembali gua susun. Gue udah nggak mentingin perasaan gue lagi ke mereka. Yang gue tau saat itu adalah, melanjutkan hidup yang sempat tertunda.
Dan semua berjalan seperti biasa. Mereka masih bahagi adengan pasangan nya masing masing. 4 bulan semenjak keluar dari kerjaan lama, dan memasrahkan liska ke orang lain, gue masih berkutat mencari kerjaan baru. Udah puluhan mungkin surat lamaran yang gue kirim, tapi belum juga ada panggilan. Sampai akhir nya, salah satu bank di Indonesia menjawab surat lamaran gue. 2 bulan seleksi, akhirnya gue di terima di bank itu.
Ketika dalam keadaan sendiri, gue sering berfikir, kenapa gue bisa masuk bank ini. Ini jelas kualifikasi yang nggak bisa di temukan dari diri gue. Ijazah, sebates SMK. Itu pun jurusan nya teknik elektronika. Nggak kebayang aja saat itu yang gue solderin duit nasabah. Penampilan, jelas nggak seperti ‘orang orang bank’ yang necis itu. Apa sih yang kalian bayangkan dari seorang banker? Rambut klimis, muka mulus, sepatu mengkilap, tutur kata tersusun rapih. Sementara gue? Rambut kriting ala ala aborigin, badan pendek,sikap ceroboh, dan masih suka melakukan hal hal aneh semisal ngupil pake jempol kaki.
Untuk urusan pengetahuan perbankkan juga gue sama sekali buta. Malah sewaktu kecil gue mengira kalo mesin atm itu semacem mesin judi, yang ketika menang, langsung bisa mengeluarkan uang dari mesinnya. Waktu dijelasin apa kegunaan dari atm silver pada saat pembuatan atm sekitar 6 tahun yang lalu oleh CS di bank lain, gue sama sekali blank. Yang gue perhatiin saat itu Cuma paras cantik mba mba customer service nya. Gue ngeri aja begitu diakelar jelasin, dia langsung ngeluarin secarik soal di kertas, dan bilang, ‘oke,udah siap ujiannya?’
Tapi seperti yang gue bilang di awal tadi, kaya nya tuhan lagi memberikan teori ‘memberi yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan.’ Kepada gue. Yang gue rasaiin sih seperti itu. Sebab dari dulu, kerjaan yang paling gue hindari Cuma satu, kerjaan yang berhubungan dengan ketelitian macam teller ini. Salah salah bisa rugi. Setidaknya 5 juta pernah gue lenyapkan dalam waktu kurang dari 5 menit. Tapi untungnya uang itu kembali setelah ada negoisasi yang alot.
Masuk nya gue ke bank itu ternyata tercium oleh mantan. Sesekali dia massage di facebook, dan nanya, apa iya benar gue kerja di bank itu. Gue mengiyakan. Besok nya, dia minta ketemuan dengan alasan, Cuma pengen ngobrol.
Waktu itu di pertengahan bulan puasa. dia datang dengan setelan kerja. Kaya nya abis dari ketemu, pengen langsung kerja. Masih sama seperti yang dulu, mulai dari sikap nya, cara bicara nya, kebiasaan kebiasaan yang masih gue ingat. Tapi sayang nya, rasa yang sempat membuncah ketika tiap kali ketemu, kini hilang entah kemana. Semua seakan datar. Pertemuan ini bagai pertemuan teman lama yang bertahun tahun tak bertemu, dan akhir nya bertemu kembali. Setelah itu berpisah, tanpa meninggalkan kesan.
‘eh sorry ya aku makan. Kamu bener nggak mau?’ dia menawari semangkuk baso.
‘nggak. Aku puasa.’ Balas gue.
‘hmm.. yowis.’
‘lagi halangan?’ tanya gue lagi.
‘nggak sih, hehe.’ Balas nya
Ada hening yang panjang di sela sela dia mengaduk baso nya.
‘gimana roy? Masih baik kan hubungan nya?’ sapa gue mengawali. Dia mengaduk gelas gelas nya perlahan mengggunakan sedotan. ‘baik..kamu gimana? Kata nya keterima di mandiri?’ balas nya. ‘iya.. alhamdulilah.’Balas gue singkat.
Aneh ya. Dulu setiap ketemu, nggak jarang kita sering ngomongin masa depan berdua. Mau nikah umur berapa, punya anak berapa, tinggal dimana. Namun Sekarang yang di obrolin tentang dia dengan pacar nya yang sekarang. Kebiasaan kebiasaan kalo lagi berdua. Punya hobi sama pada satu hal.Tempat tempat yang sering di kunjungi ketika weekend. Namun yang membuat gue bersyukur ketika mendengar cerita ini adalah, kekuatan cerita ini sama kadarnya seperti seorang anak bocah yang mengabarkan kalo selama ini burung itu bisa terbang, dan ikan bisa berenang. Nothing effect.
Nggak ada lagi harapan dia bakal cerita tentang masalah dia sama pacaranya sekarang. Buat gue, kebahagiaan atau kepahitan yang dia rasakan bareng pacar nya sekarang, nggak lebih penting ketimbang denger berita kalo saiful jamil cukur alis.
Banyak hal yang dia certain selama gue dan dia udah nggak bersama lagi. Dan yang membuat gue tertarik mendengar cerita demi cerita yang dia utarakan adalah, penyesalan dia telah meninggalkan gue. Bermacam alibi yang dia katakan demi meyakinkan gue, kalau ini nggak sepert yang dia inginkan. Semua berjalan tanpa rencana. Dimulai dari coba coba, sampai akhir nya nggak tega untuk ninggalin. Ending nya, mereka jadian, dan gue di tinggal. Miris.
Malem nya, dia mencoba menghubungi gue lewat telpon. sempet males buat ngangkat. Namun demi menjaga perasaan orang yang berbuat baik, akhirnya gue angkat. Mengawali percakapan dengan candaan yang terdengar garing, gue tersenyum getir. Sedikit memaksa, sampai akhir nya tertawa. Sekali lagi, semua demi menjaga perasaan niat baik seseorang.
‘’udah malem juga nih. Besok aku masuk pagi.’’ Akhir nya gue memberanikan diri buat bilang, dilanjut dengan melirik jam, yang saat itu masih jam 10.
‘’ooh.. kamu keganggu ya? Yaudah deh, nggak papa, matiin aja telponnya.’’ Balas nya.
‘’egrrr… bukan, bukan gitu. Aku Cuma..’’ tut.. tut..tut.. telpon terputus. Gue tersenyum sinis. Cara kuno. Dengan begini, dia pikir gue bakal nelpon balik dan bilang, ‘’aduh.. sorry ya, yaudah nggak papa deh udah malem, yu kita lanjut lagi ngobrol nya.’’
Gue merebahkan kepala di atas tumpukan bantal. Hp gue taro di samping kepala. Sesekali meilrik bingkai poto kami berdua dulu yang gue taro sembarang di samping baskom nyokap. Permukaan nya yang tertumpuk debu tebal menandakan, poto itu sudah lama di biarkan bergitu saja.
Bingkai itu dia yang kasih ketika gue ulang tahun. Jam 12 malem dia datang kerumah saat demam menyerang sejak sehari yang lalu. Nggak ada kepikiran bakal ada kejutan sepeti ini. Sembuh dari sakit aja udah syukur alhamdulilah. Namun tak disangka, malem nya dia datang beserta teman gue yang lain dengan membawa seloyang kue khas ulang tahun, beserta kado. Rona rona kebahagiaan tak bisa lagi gue sembunyikan. Sendi sendi yang terasa ngilu akibat demam seharian itu, kini bak kena obat paling mujarab sedunia. Gue langsung semangat, dan besok nya gue sembuh.
Namun itu cerita lawas. Bukan kah setiap hubungan, selalu memberikan bekas kenangan. Nggak peduli indah, atau nista. Bahagia, atau terluka. Pilihan nya sekarang Cuma 2. Menyimpan nya rapat rapat, atau membuangnya cepat cepat.
‘’ini poto mau di taro di mana sebener nya? Sempit tau nggak sih.’’ Nyokap membuyarkan lamunan gue saat dia mau ngambil baskom nya. Dengan reflex gue bilang, ‘’eksel paling bawah masih kosong kaya nya.’’
*****
Hari hari gue jalani sebagai ‘orang bank’ yang selama ini temen temen gue bilang. Agak berlebihan sih sebener nya. Kenapa istilah itu nggak dipake buat profesi lain. Kaya orang pilot, orang sekolah, orang rumahsakit. Dan mereka pikir, gue sama seperti orang bank yang selama ini mereka bayangkan. Rambut klimis, kemeja rapih, sepatu mengkilap. Kalo ngomong, selalu campur bahasa inggris dan istilah istilah perbankan yang nggak di ketahui banyak orang. Kaya misalkan…
‘’tadi pagi gue belum sarapan. Kaya nya nanti siang nih perut butuh kredit tanpa anggunan deh.’’
‘’sory.. sory.. isi perut abis ke debit. Maka nya tadi lama di toilet.’’
‘’kenapa sih dia tega ninggalin gue. Padahal kan perasaan gue ke dia nggak pernah limit.’’
Nggak gitu juga sih ya.
Padahal kalo mereka mau tau ‘kisah’ nya, jelas mereka akan berfikir dua kali untuk menyebut gue dengan sebutan.. ‘orang bank.’
Mari kita mulai.
Selepas menandatangani kerja sama kontrak siang itu, gue dibuat kaget, lantaran gue mendapati cabang yang menurut gue nih daerah baru ditemukan belum lama ini. Dengan teknologi yang masih minim, jaringan sinyal yang susah, orang orang yang masih berburu babi, dan.. indomaret yang langka.
‘’tanjung priuk.’’
Begitu surat itu menjelaskan. Gue mendapati kenyataan pahit, bahwa ternyata tempat kerja gue berada disini, di ujung Jakarta. Sebelum nya gue membayangkan bakal di tempat kan di daerah elit macam kuningan atau sudirman. Kalo sore nongkrong di starbuck, ngopi ngopi cantik sambil ngebahas keluaran barang barang bermerek. Maleman dikit, ngadain party di da vinci. Weekend nya, jadi simpenan om om.
Sampe di lokasi, pemandangan yang tak lazim datang lagi. Jadi kantor cabang gue terletak bener bener di ujung Jakarta persis. Bahkan kalo lagi di pantry, gue bisa ngeliat laut lepas dengan jejeran kapal yang bersandar. Tempat cabang gue berada adalah sebuah pelabuhan penumpang.
Untuk menunggu sebuah kapal datang, waktu nya nggak bisa di tebak. Efek cuaca saat perjalanan salah satu alasannya. Maka nya, dari pada para penumpang ketinggalan kapal, mereka lebih memilih datang duluan. Duluan nya disini juga bukan barang sejam dua jam. Waktu nya bisa sampe sehari dua hari. Berhubung tingkat ekonomi para penumpang ini masuk kategori kebawah, mereka lebih memilih untuk tidur dipelabuhan dengan alas seadanya, ketimbang harus menyewa penginapan. Maka nyanggak heran, begitu gue mau masuk kedalem, gue di hadang oleh jejeran ibu ibu yang lagi selonjoran didepan cabang. Dan seketika, kantor gue berubah jadi barak pengungsi.
Menurut gue, lingkungan mempengaruhi cara bersikap, dan bergaul sesorang. Pun demikian dengan orang orang di tanjung priuk. Alih alih ngebayangin punya nasabah ‘orang orang besar’, wanita wanita cantik, gue malah selalu di banjiri oleh kuli kuli pelabuhan, calo calo tiket, pendatang luar jawa, dan bahkan.. preman yang mau menyetorkan hasil kerja mereka tiap harinya. Uang yang lecek, bau keringat yang semerbak, dan riuh renyah rengekan anak kecil , selalu menghiasi ruang lingkup kantor.
Di dunia perbankan, ada istilah yang nama nya nasabah prioritas. Mungkin istilah ini sudah di ketahui banyak orang. Nasabah prioritas adalah nasabah yang memberikan base terbesar pada satu bank. Biasa nya mereka akan melakukan apa saja, demi membuat si nasabah merasa nyaman dalam menjalankan transaksi perbankannya. Dan salah satu yang menjadi nasabah prioritas dari cabang gue adalah, Jakarta international countener terminal. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penumpukan countener. Istilah sederhana nya gini. Umpama satu perusahaan mau mengekspore atau mengimpor barang mereka melalui laut. Tentunya harus ada terminal tempat tuh kapal bersandar. Sebagai mana datang nya kapal yang nggak bisa di predikisi, pelayanan pembayaran JICT ini sudah barang tentu 24 jam. Dan yang gue bilang di awal tadi, bahwa satu bank akan melakukan apa saja untuk ‘memanjakan’ nasabah prioritasnya, jadi lah cabang gue ini mempunyai inisiatif buat mengirimkan karyawannya untuk bertugas di loket pembayaran. Dan yang gue bilang tadi, loket ini 24 jam.
Beragam pertanyaan pun muncul dari orang orang terdekat.
‘’emang bank sabtu minggu buka?’’
‘’kok kerja di bank tapi masuk nya malem sih?’’
‘’nggak kerja jam segini?’’
‘’kamu anak siapa sih? Kok ganteng banget.’’
Biasa nya kalo udah gini, gue bakal pura pura mati. Males aja gitu harus nyeritain dari awal lagi. Sama kaya gue harus mengulang tulisan ini dari awal paragraph. Grrrh.
Banyak hal yang harus gue ubah ketika gue berada di lingkungan orang orang yang tingkat disiplinnya tinggi. Semua berjalas atas nama prosedur. Dulu waktu bekerja di tempat lama, gue sering menyepelekan satu prosdur yang jenis nya sepele, dengan alasan, ‘Cuma gini doang kok’. Tapi disini, ngak ada toleransi. Gue inget betul bagaimana gue harus masuk keruang kepala cabang hanya karna salah nyairin cek, meski nilai nya sama. Gue juga inget ketika harus cape cape nelponin nasabah Cuma gara gara lupa nyantumin KTP dan tanda tangan. Atau, masih berasa di ingatan ketika harus ngebatalin transaksi Cuma gara gara kurang masukin berita buat pengirim saat transfer.
Susah memang membiasakan diri untuk mengikuti kebiasaan disatu lingkungan, yang sebelum nya belum pernah kita tumpangi. Berat memang harus berpura pura pada diri sendiri buat bilang, hey, im fun. Tapi itu lah kenyataan hidup. Setidak nya, untuk mendapatkan sesuatu, kita juga harus mengorbankan sesuatu. Beberapa hal yang gue pelajari disini adalah, untuk bisa di bayar mahal, lo harus punya sikap yang nggak murah.
*******
Gue adalah salah satu orang yang paling sulit meninggalkan sesuatu yang menurut gue udah nyaman. Maka dari itu gue selalu suka ngeganti chanel tv pake kaki. Nggak tau kenapa. Salah satu elemen yang membuat gue nyaman dan sulit untuk di tinggalkan adalah teman.
Selepas keluar dari kerjaan lama, hal yang sulit di tinggalkan meski udah kegantikan, ya teman. Seminggu dua minggu gue selalu luangkan waktu bertemu, bercengkrama, seolah mengulang keceriaan dulu yang pernah tercipta.
Namun semenjak jadwal ‘nguli’ yang padet banget, waktu guebuat kumpul semakin jarang. Maka dari itu, selepas pulang kerja, hari jumat, dipertengahan 2104 gue sempatkan untuk datang di acara buka puasa bersama. Awal nya ketemuan di gramed. Tapi karna gue telat, gue di intruksikan untuk langsung kede cost atrium senen.
Gue tiba dengan masih beraromakan asep countener. Memandang kesemua yang datang, ternyata tinggal gue yang di tunggu saat itu.
‘’belum pada pesen?’’ gue berbisik ke andi.
‘’udah pada abis bego. Lo sih lama.’’ Sewot andi.
Jadi lah gue makan sendiri, berteman piring piring kotor.
Selepas makan, seperti biasa, kita ngobrol ngawur ngidul. Gelak tawa demi tawa terdengar sampai ke meja sebelah. Belum kelar selesai ketawa, tiba tiba Nampak satu sosok yang selama ini ramai di bicarakan sama anak anak, antara gue, dan dia. Iya, andika.
‘’eh.. elu dik.’’ Sapa nurdin. ‘’makan… makan.. masih ada nih.’’
‘’iya iya, sorry yak telat.’’
Sempat hening beberapa saat ketika dia menyedok nasi. Terselip kecanggungan antara gue dan dia saat itu. Beruntunglah kita berdua diselamatkan oleh kehadiran anak anak. Bahasan topic yang di bicarakan juga udah nggak menyangkut soal cinta segitiga, antara teman atau pacar. Kita udah sama sama dewasa. Dan gue sadar itu. Dia menggunakan cara yang halal, gue pun juga. Beda nya dia halal versi MUI, gue versi majlis taklim. Ini apalagi sih.
Selepas makan, Nggak jelas sebener nya malam itu kita pada mau kemana lagi. Yang penting sih sebener nya ngumpul nya itu. Ketawa bareng, ngakak bareng, itu yang di cari. Tapi beberapa lainnya ada yang pulang duluan karna urusan lain. Harry mengulkan buat maen PS di salah satu mantan rekan kerja kita saat itu di bilangan kali bata. Belum nyampe sana, bbm dari dia masuk, dan bilang hari ini ps nya nggak buka.
Waktu udah masuk jam 11 malem, tapi kita masih ngiter ngiter nggak jelas.
‘’mau kemana sih kita sebener nya?’’ johar gemas saat kita berhenti di depan toko yang udah tutup.
‘’yaudah, makan aja yuk.’’ Usul gue.
’makan dimana?’’ Tanya nya lagi.
’situ tuh, kaki lima depan makam pahlawan aja.’’ Balas gue, diiringi deru sepeda motor yang berjalan di belakang. Sisa teman yang makan malam itu berkurang. Tinggal gue, johar, nurdin, ridwan, hendra, dan… andika.
‘’lo pesen apa jo? ‘’ Tanya nurdin ke johar.
‘’soto ayam aja kali ya.’’
Kita duduk di meja panjang kaki lima, di daerah kali mata. Suasana udah mulai sepi. Maklum, jam 1 malem kita datang. Beberapa tenda yang ada juga udah mulai beres beres. Kebanyakan menu yang kita pesen juga uda mulai abis.
Gue duduk di depan hendra, pojok kiri. Sementara nurdin dan ridwan di samping kanan gue. Sisanya, paling pojok kanan johar dan andika.
Kelar makan, sebener nya gue udah mulai ngantuk. Seharian gue nguli di pelabuhan, dan jam 1 belum tidur. Hendra ngajak becanda, tapi gue acuhkan. Melihat gue nggak asik buat di ajak becanda, dia pun focus ke hapenya. Di pojok kanan, samar sama johar, nurdin, dan andika sedang membicarakan satu topic.
‘’geberrrr terus.’’ Celetuk nurdin ke andika.
Gue membuyarkan lamunan. Bukan maksud kepo, tapi jarak antara mereka ngobrol dengan telinga gue, nggak cukup jauh buat nggak bilang, ‘’ih..siapa yang nguping.’’
‘’pantes yang lama di tinggal. Udah ada yang baru. Hahaha.’’Johar kembali menimpali.
Gue semakin penasaran. Dengan sedikit menajamkan pendengaran, kali ini gue mengakui, kalo gue udah mulai nguping.
‘’emang masalah nya kenapa sih?’’ johar kembali nanya. Yang diTanya enggan memberi jawaban.
Saat itu, tepat jam setengah 2 malam, saat gue menganggap, diri ini bagai sebongkah api unggun yang api nya padam terguyur hujan. Tak adalagi kehangatan yang bisa di harapkan dari sebongkah api unggun yang basah. Abunya sudah menyatu bersama deras nya hujan. Namun semua berbeda, dan cerita nya menjadi lain ketika saat itu yang keluar dari mulut dia adalah..
‘’iya, gue putus sama dia.’’
Dan gue melihat, masih ada sedikit bara, di api unggun itu.
Kaki Lima Kali bata, 25 Juli 2014
Komentar
Posting Komentar