Yang selama ini gue yakini, segala sesuatu itu nggak ada yang nama nya kebetulan. Bahkan untuk urusan daun jatuh dari dahan nya pun sudah ada yang mengatur nya. Tapi entah kenapa, paradigma itu gue tepis begitu menyadari gue lolos interview awal. Mungkin ini faktor kebetulan. Mungkin yang lain nya juga banyak yang lolos. Atau mungkin urutan terakhir waktu gue di interview bener bener berhasil bikin si peng-interview keburu ngantuk, dan dengan mudah meloloskan gue begitu saja.
Tapi yasudah lah. Gue nggak bisa menolak unsur kebetulan itu. Toh jika manusia dalam keadaan sulit sekalipun, mereka masih membutuhkan yang nama nya kebetulan itu sendiri. Yang pasti, gue berjalan agak tergesa menaiki anak tangga yang nggak ada abis nya. Gue udah lumayan telat. Jangan kan untuk merapihkan dandanan, menyiapkan alat tulis pun gue abaikan.
Gue sampe di lantai 3 dengan menaiki anak tangga. Disana sudah ada banyak peserta lain nya yang terlihat jumawa. Sementara gue, coba lihat? Kemeja masih yang dua minggu lalu gara gara lupa di cuci. Untung nya nggak ada peraturan yang nggak membolehkan masuk bank dengan kemeja yang sama dengan 2 minggu yang lalu. Sepatu juga masih menyisakan sedikit tanah merah gara gara lupa juga gue cuci. Oke gue harus ke toilet sebentar. Merapikan sedikit penampilan yang ala kadar nya ini.
Keluar dari toilet, ternyata gue masih punya waktu banyak. Tes di bagi menjadi 2 gelombang. Gelombang pertama udah masuk setengah jam yang lalu. Dan gue masuk di gelombang kedua.
Disela waktu menunggu, hal yang paling banyak gue lakukan adalah berdoa. Ya kali aja faktor luck datang lagi. Dan setengah jam kemudian, peserta gelombang pertama keluar. Beragam ekspresi menyelimuti wajah wajah mereka. Ada yang tampak stres. Ada yang muka nya di tekuk. Ada yang ketawa haha-hihi. Dan entah ekspresi apa yang gue keluarkan jika nanti giliran gue yang keluar dari ruangan itu.
Bentuk ruangan persis seperti dalam kelas. Berjejer meja disusun rapih. Kali ini gue dapet di meja tengah. Wait... wait... wait.. apa lo nggak mau melakukan hal yang sama seperti 2 minggu yang lalu, dengan duduk di belakang juga? Sebab banyak orang bijak bilang, kalau mau mendapat kan keberhasilan yang sama, lakukan lah hal yang sama.
Oke gue ngaco. Nggak mungkin juga gue mengusir bangku yang udah diisi sama orang di belakang. Tau apa gue tentang keberuntungan. Yang gue tau, mengharapkan suatu keberuntungan, sama aja kaya mengharapkan ada tukang es cendol di padang pasir. Sangat sulit. Yang harus gue lakukan adalah terima dengan lapang dada soal yang sudah di bagikan di atas meja ini.
Tes yang di uji sebener nya nggak terlalu sulit. Cuma disuruh menjumlah angka angka yang berjejer rapih di atas kertas berukuran 80 x 80 cm itu. Lalu kita disuruh membuat tanda garis begitu aba aba di bunyikan. Waktu yang di beri memang cukup lama. Gue pun sebener nya udah paham maksud dari tes ini. Kita bukan disuruh untuk mengerjakan dengan benar, tapi disuruh untuk seberapa tahan otak kita bekerja. Itu terbukti dari lama nya waktu yang di berikan.
Begitu waktu di mulai, 15 menit awal otak gue masih lancar menjumlah angka angka itu. Cuma di 20 menit berikut nya, otak gue mulai kendor. Hal hal yang sebener nya nggak penting buat di pikirkan, malah ikut masuk mengganggu. Iya tes ini di maksud kan untuk mengetahui seberapa lama si peserta dalam berkosentrasi.
Gue melirik sekilas ke kanan ke kiri. Tampak banyak sekali yang masih segar dalam mengerjakan. Bahkan sebelah kanan gue, seorang wanita seumuran gue, dengan lancar nya menjumlah angka angka itu.
Waktu habis saat gue baru mau membalik halaman berikut nya. Damn! Padahal dari tadi udah banyak orang yang membalik kertas di halaman berikut nya. Tapi gue belum lama ini. Iya oke, kali ini mungkin gue nggak akan mendapatkan kesempatan yang sama seperti 2 minggu yang lalu. Soal yang gue kerjakan nggak banyak. Beda sama mereka mereka yang dengan mudah nya mengerjakan nya.
"Oke.. seminggu atau dua minggu, hasil akan kita umum kan. Bagi yang lolos, akan kami hubungi lagi. Bagi yang sudah 2 minggu lebih tidak ada respon, mohon maaf. Langkah kalian harus terhenti cuma sampai disini." Kata pengawas tes.
Setelah nya, kita bergegas keluar. Dan ekpresi apa yang gue beri begitu keluar ruangan? Sama kaya 2 minggu yang lalu. Wajah lesuh karna tak berhasil mengerjakan soal dengan penuh.
Yaudah lah. Yang penting udah mencoba. Setidak nya kalaubpun gue gagal dites ini, gue cukup bangga bisa melewati satu tahapan awal saat menghadapi om om bertubuh besar itu.
Gue baru bisa keluar dari gedung itu saat suara azan zuhur berkumandang. Oke gue akan menggunakan cara kuno saat manusia sudah tak percaya lagi sama kemampuan diri nya sendiri, dan memasrahkan semua nya kepada tuhan. Gue akan berdoa selepas zuhur. Gue tau potensi potensi dalam diri gue nggak ada yang bisa di banggakan. Tapi setidak nya, gue punya tuhan yang bisa di andalkan.
Motor gue rapatkan ke sebuah mesjid di pinggir jalan. Semua anggota badan gue siram dan tampak kebasahan. Di dalam gue titipkan sebuah harapan. Agar kelak, semua ke inginan, dapat terkabulkan.
Keluar dari mesjid, gue langsung pulang. Seperti biasa, gue harus menunggu sampai panggilan berikut nya datang. sebener nya gue males harus menunggu ketidakpastian macam gini. brasa kaya lagi di gantung gebetan tau nggak sih. tapi Langkah sudah terlanjur kepalang. yang selanjut nya di lakukan adalah tetap tenang, agar dalam kompetisi ini, kita yang menang.
Sehari dua hari belum nampak HP gue ada panggilan masuk. Isi dompet juga makin lama makin membusuk. Tapi kembali teringan ucapan petugas itu yang mengatakan, kalo hasil dari tes ini seminggu dua minggu.
Sambil menunggu, nggak ada salah nya diselingi dengan doa. Sebab, apa yang bisa gue lakukan jika semua sudah di jalan kan? Menunggu tanpa sedikit pun usaha cuma akan sia sia. Dan gue menganggap, doa adalah usaha kecil, yang selalu mendapat hasil yang besar. Tuhan tidak akan memberatkan sebuah doa jika apa yang di inginkan hamba nya adalah keinginan besar. Semua nya memiliki prosedur yang sama, cara yang sama, tanpa membedakan, harapan apa yang di minta.
Seminggu gue habiskan untuk melakukan pola hidup yang sama tiap hari nya. Bangun, shalat subuh, olahraga bentar, makan, nonton tv, dan tidur.. kadang kalo mau di beri variasi sedikit, ritme nya jadi bangun, shalat subuh, cek timeline mantan, olahraga bentar, makan, cek timeline mantan, nonton tv, makan, nonton tv, cek timeline mantan, tidur. Sampe akhir nya gue nggak tahan dengan semua ini. Sesekali dua kali sambil menunggu, gue cari cari info lowongan yang lain ke teman teman di bbm.
Sudah hampir dua minggu berlalu. Dan genap jika satu hari ini berganti, arti nya langkah gue harus terhenti. Gue pun juga sudah mulai menulis lamaran lamaran baru buat gue kirim ke perusahaan perusahaan yang membutuhkan. Iya benar kata orang. Jangan mengharap kan keberuntungan, jika kemampuan, tak sepadan.
********
Isak tangis pecah saat gue datang kesalah satu kediaman teman yang lagi di rundung duka. Dia adalah temen deket gue saat bekerja di gramedia. Kabar itu datang dini hari, saat teman gue yang lain nya mengabarkan, kalo ayah nya baru saja berpulang. Sontak gue kaget. Padahal baru kemaren di antar kerumah sakit. Besok nya udah nggak ada.
Gue lihat wajah itu tertutup kesedihan yang sulit di hindarkan. Dia orang nya sangat ceria. Tapi kini, sejenak keceriaan nya harus terhenti karna sang ayah, telah tiada.
"Yang sabar ya man." Gue mencoba memberi pasokan semangat.
"Iya gue udah iklas kok ting." Balas nya dengan sedikit senyum yang terkesan di paksakan.
Melihat ketegaran temen gue ini, gue jadi malu sendiri. Gue baru nggak lolos tes psikotes aja down nya sampe sebegini nya. Sementara temen gue, yang harus kehilangan ayah nya, tetep mau tersenyum, walau gue tau, sangat sulit bagi nya.
3 jam gue habiskan disana untuk sekedar berbincang santai dengan teman gramedia lain nya yang sudah menyempatkan datang. Lumayan. Semacem ajang temu kangen juga. Dan nggak terasa, azan magrib berkumandang dari mesjid sebelah rumah temen gue ini. Beberapa teman yang lain sudah ada yang pulang duluan. Tinggal gue, hendra dan dani yang masih disana.
Gue shalat dulu sebentar, lalu pulang. Di sela sela shalat, hape gue getar dari saku celana. Berkali kali bergetar. Tapi mau di kata apa, gue masih masuk rakaat pertama. Selesai shalat, ada 3 panggilan tak terjawab. 2 dari bokap. 1 lagi dari no yang gue nggak kenal. Angka depan nya 4. Oh damn! Jangan jangan ini panggilan dari hasil tes kemaren. Kenapa tadi gue nggak angkat. Kalo aja gue mau ngebatalin shalat yang masih satu rakaat tadi, mungkin gue kabar baik bakal datang.
Gue mencoba menghubungi ke no yang tadi. Tapi sial. Suara operator terdengar jadi suara paling ngeselin dengan mengatakan kalo sisa pulsa, tak cukup untuk melakukan panggilan.
Ah shet.. shet.. shet.. gue mengutuk diri di jalan. Udah dua minggu telpon ini gue tunggu, tapi kenapa begitu datang, malah gue abaikan. Argggg.
Oke gue harus memahami satu konsep lagi dari rancangan tuhan. Selain ada "kebetulan" yang jalan nya di luruskan. Ternyata ada juga "kebetulan" yang jalan nya di belokan. Dan yang gue terima ini, kebetulan yang jalan nya.. dibelokan.
Oke sudah cukup. Dari awal juga gue udah nggak percaya sama potensi yang ada dalam diri ini. Di hubungi seperti ini juga harus nya gue bersukur. Setidak nya gue lolos tes itu, padahal sedari awal nggak yakin. Ya meskipun ujung ujung nya gue nggak bakal masuk tahap selanjut nya.
Motor sudah berhenti tepat di depan rumah. Gue liat bokap lagi shalat. Gue langkahkan kaki pelan pelan. Karna seperti biasa, begitu dia tau gue pulang, rentetan pertanyaan yang nggak penting menjadi semakin menjengkelkan.
"Arim.... "
Tuh kan bener. Belom juga gue ganti baju.
"Apaan". Jawab gue malas.
"Tadi ada yang nelpon kata nya besok disuruh dateng ke daerah kota jam 10 pagi buat interview akhir."
Belom gue melepas semua kancing di baju, gue bergegas menghampiri bokap dengan wajah yang drastis berubah 180 derajat.
"Hah? Yang bener?".
"Iye tadi tuh orang nelpon ke lu, tapi kata nya nggak di angkat angkat. Maka nya nelpon ke ayah."
Gue baru ingat. Ternyata waktu buat lamaran, disitu juga gue cantumkan no bokap agar kira nya jika no gue nggak aktif, ada alternatif lain.
Dan entah kenapa. Suara bokap yang biasa nya terdengar ngeselin, jadi suara paling merdu bak alunan musik klasik, yang terdengar asik. Ah... ternyata "kebetulan" itu belum mau belok :')
Tapi yasudah lah. Gue nggak bisa menolak unsur kebetulan itu. Toh jika manusia dalam keadaan sulit sekalipun, mereka masih membutuhkan yang nama nya kebetulan itu sendiri. Yang pasti, gue berjalan agak tergesa menaiki anak tangga yang nggak ada abis nya. Gue udah lumayan telat. Jangan kan untuk merapihkan dandanan, menyiapkan alat tulis pun gue abaikan.
Gue sampe di lantai 3 dengan menaiki anak tangga. Disana sudah ada banyak peserta lain nya yang terlihat jumawa. Sementara gue, coba lihat? Kemeja masih yang dua minggu lalu gara gara lupa di cuci. Untung nya nggak ada peraturan yang nggak membolehkan masuk bank dengan kemeja yang sama dengan 2 minggu yang lalu. Sepatu juga masih menyisakan sedikit tanah merah gara gara lupa juga gue cuci. Oke gue harus ke toilet sebentar. Merapikan sedikit penampilan yang ala kadar nya ini.
Keluar dari toilet, ternyata gue masih punya waktu banyak. Tes di bagi menjadi 2 gelombang. Gelombang pertama udah masuk setengah jam yang lalu. Dan gue masuk di gelombang kedua.
Disela waktu menunggu, hal yang paling banyak gue lakukan adalah berdoa. Ya kali aja faktor luck datang lagi. Dan setengah jam kemudian, peserta gelombang pertama keluar. Beragam ekspresi menyelimuti wajah wajah mereka. Ada yang tampak stres. Ada yang muka nya di tekuk. Ada yang ketawa haha-hihi. Dan entah ekspresi apa yang gue keluarkan jika nanti giliran gue yang keluar dari ruangan itu.
Bentuk ruangan persis seperti dalam kelas. Berjejer meja disusun rapih. Kali ini gue dapet di meja tengah. Wait... wait... wait.. apa lo nggak mau melakukan hal yang sama seperti 2 minggu yang lalu, dengan duduk di belakang juga? Sebab banyak orang bijak bilang, kalau mau mendapat kan keberhasilan yang sama, lakukan lah hal yang sama.
Oke gue ngaco. Nggak mungkin juga gue mengusir bangku yang udah diisi sama orang di belakang. Tau apa gue tentang keberuntungan. Yang gue tau, mengharapkan suatu keberuntungan, sama aja kaya mengharapkan ada tukang es cendol di padang pasir. Sangat sulit. Yang harus gue lakukan adalah terima dengan lapang dada soal yang sudah di bagikan di atas meja ini.
Tes yang di uji sebener nya nggak terlalu sulit. Cuma disuruh menjumlah angka angka yang berjejer rapih di atas kertas berukuran 80 x 80 cm itu. Lalu kita disuruh membuat tanda garis begitu aba aba di bunyikan. Waktu yang di beri memang cukup lama. Gue pun sebener nya udah paham maksud dari tes ini. Kita bukan disuruh untuk mengerjakan dengan benar, tapi disuruh untuk seberapa tahan otak kita bekerja. Itu terbukti dari lama nya waktu yang di berikan.
Begitu waktu di mulai, 15 menit awal otak gue masih lancar menjumlah angka angka itu. Cuma di 20 menit berikut nya, otak gue mulai kendor. Hal hal yang sebener nya nggak penting buat di pikirkan, malah ikut masuk mengganggu. Iya tes ini di maksud kan untuk mengetahui seberapa lama si peserta dalam berkosentrasi.
Gue melirik sekilas ke kanan ke kiri. Tampak banyak sekali yang masih segar dalam mengerjakan. Bahkan sebelah kanan gue, seorang wanita seumuran gue, dengan lancar nya menjumlah angka angka itu.
Waktu habis saat gue baru mau membalik halaman berikut nya. Damn! Padahal dari tadi udah banyak orang yang membalik kertas di halaman berikut nya. Tapi gue belum lama ini. Iya oke, kali ini mungkin gue nggak akan mendapatkan kesempatan yang sama seperti 2 minggu yang lalu. Soal yang gue kerjakan nggak banyak. Beda sama mereka mereka yang dengan mudah nya mengerjakan nya.
"Oke.. seminggu atau dua minggu, hasil akan kita umum kan. Bagi yang lolos, akan kami hubungi lagi. Bagi yang sudah 2 minggu lebih tidak ada respon, mohon maaf. Langkah kalian harus terhenti cuma sampai disini." Kata pengawas tes.
Setelah nya, kita bergegas keluar. Dan ekpresi apa yang gue beri begitu keluar ruangan? Sama kaya 2 minggu yang lalu. Wajah lesuh karna tak berhasil mengerjakan soal dengan penuh.
Yaudah lah. Yang penting udah mencoba. Setidak nya kalaubpun gue gagal dites ini, gue cukup bangga bisa melewati satu tahapan awal saat menghadapi om om bertubuh besar itu.
Gue baru bisa keluar dari gedung itu saat suara azan zuhur berkumandang. Oke gue akan menggunakan cara kuno saat manusia sudah tak percaya lagi sama kemampuan diri nya sendiri, dan memasrahkan semua nya kepada tuhan. Gue akan berdoa selepas zuhur. Gue tau potensi potensi dalam diri gue nggak ada yang bisa di banggakan. Tapi setidak nya, gue punya tuhan yang bisa di andalkan.
Motor gue rapatkan ke sebuah mesjid di pinggir jalan. Semua anggota badan gue siram dan tampak kebasahan. Di dalam gue titipkan sebuah harapan. Agar kelak, semua ke inginan, dapat terkabulkan.
Keluar dari mesjid, gue langsung pulang. Seperti biasa, gue harus menunggu sampai panggilan berikut nya datang. sebener nya gue males harus menunggu ketidakpastian macam gini. brasa kaya lagi di gantung gebetan tau nggak sih. tapi Langkah sudah terlanjur kepalang. yang selanjut nya di lakukan adalah tetap tenang, agar dalam kompetisi ini, kita yang menang.
Sehari dua hari belum nampak HP gue ada panggilan masuk. Isi dompet juga makin lama makin membusuk. Tapi kembali teringan ucapan petugas itu yang mengatakan, kalo hasil dari tes ini seminggu dua minggu.
Sambil menunggu, nggak ada salah nya diselingi dengan doa. Sebab, apa yang bisa gue lakukan jika semua sudah di jalan kan? Menunggu tanpa sedikit pun usaha cuma akan sia sia. Dan gue menganggap, doa adalah usaha kecil, yang selalu mendapat hasil yang besar. Tuhan tidak akan memberatkan sebuah doa jika apa yang di inginkan hamba nya adalah keinginan besar. Semua nya memiliki prosedur yang sama, cara yang sama, tanpa membedakan, harapan apa yang di minta.
Seminggu gue habiskan untuk melakukan pola hidup yang sama tiap hari nya. Bangun, shalat subuh, olahraga bentar, makan, nonton tv, dan tidur.. kadang kalo mau di beri variasi sedikit, ritme nya jadi bangun, shalat subuh, cek timeline mantan, olahraga bentar, makan, cek timeline mantan, nonton tv, makan, nonton tv, cek timeline mantan, tidur. Sampe akhir nya gue nggak tahan dengan semua ini. Sesekali dua kali sambil menunggu, gue cari cari info lowongan yang lain ke teman teman di bbm.
Sudah hampir dua minggu berlalu. Dan genap jika satu hari ini berganti, arti nya langkah gue harus terhenti. Gue pun juga sudah mulai menulis lamaran lamaran baru buat gue kirim ke perusahaan perusahaan yang membutuhkan. Iya benar kata orang. Jangan mengharap kan keberuntungan, jika kemampuan, tak sepadan.
********
Isak tangis pecah saat gue datang kesalah satu kediaman teman yang lagi di rundung duka. Dia adalah temen deket gue saat bekerja di gramedia. Kabar itu datang dini hari, saat teman gue yang lain nya mengabarkan, kalo ayah nya baru saja berpulang. Sontak gue kaget. Padahal baru kemaren di antar kerumah sakit. Besok nya udah nggak ada.
Gue lihat wajah itu tertutup kesedihan yang sulit di hindarkan. Dia orang nya sangat ceria. Tapi kini, sejenak keceriaan nya harus terhenti karna sang ayah, telah tiada.
"Yang sabar ya man." Gue mencoba memberi pasokan semangat.
"Iya gue udah iklas kok ting." Balas nya dengan sedikit senyum yang terkesan di paksakan.
Melihat ketegaran temen gue ini, gue jadi malu sendiri. Gue baru nggak lolos tes psikotes aja down nya sampe sebegini nya. Sementara temen gue, yang harus kehilangan ayah nya, tetep mau tersenyum, walau gue tau, sangat sulit bagi nya.
3 jam gue habiskan disana untuk sekedar berbincang santai dengan teman gramedia lain nya yang sudah menyempatkan datang. Lumayan. Semacem ajang temu kangen juga. Dan nggak terasa, azan magrib berkumandang dari mesjid sebelah rumah temen gue ini. Beberapa teman yang lain sudah ada yang pulang duluan. Tinggal gue, hendra dan dani yang masih disana.
Gue shalat dulu sebentar, lalu pulang. Di sela sela shalat, hape gue getar dari saku celana. Berkali kali bergetar. Tapi mau di kata apa, gue masih masuk rakaat pertama. Selesai shalat, ada 3 panggilan tak terjawab. 2 dari bokap. 1 lagi dari no yang gue nggak kenal. Angka depan nya 4. Oh damn! Jangan jangan ini panggilan dari hasil tes kemaren. Kenapa tadi gue nggak angkat. Kalo aja gue mau ngebatalin shalat yang masih satu rakaat tadi, mungkin gue kabar baik bakal datang.
Gue mencoba menghubungi ke no yang tadi. Tapi sial. Suara operator terdengar jadi suara paling ngeselin dengan mengatakan kalo sisa pulsa, tak cukup untuk melakukan panggilan.
Ah shet.. shet.. shet.. gue mengutuk diri di jalan. Udah dua minggu telpon ini gue tunggu, tapi kenapa begitu datang, malah gue abaikan. Argggg.
Oke gue harus memahami satu konsep lagi dari rancangan tuhan. Selain ada "kebetulan" yang jalan nya di luruskan. Ternyata ada juga "kebetulan" yang jalan nya di belokan. Dan yang gue terima ini, kebetulan yang jalan nya.. dibelokan.
Oke sudah cukup. Dari awal juga gue udah nggak percaya sama potensi yang ada dalam diri ini. Di hubungi seperti ini juga harus nya gue bersukur. Setidak nya gue lolos tes itu, padahal sedari awal nggak yakin. Ya meskipun ujung ujung nya gue nggak bakal masuk tahap selanjut nya.
Motor sudah berhenti tepat di depan rumah. Gue liat bokap lagi shalat. Gue langkahkan kaki pelan pelan. Karna seperti biasa, begitu dia tau gue pulang, rentetan pertanyaan yang nggak penting menjadi semakin menjengkelkan.
"Arim.... "
Tuh kan bener. Belom juga gue ganti baju.
"Apaan". Jawab gue malas.
"Tadi ada yang nelpon kata nya besok disuruh dateng ke daerah kota jam 10 pagi buat interview akhir."
Belom gue melepas semua kancing di baju, gue bergegas menghampiri bokap dengan wajah yang drastis berubah 180 derajat.
"Hah? Yang bener?".
"Iye tadi tuh orang nelpon ke lu, tapi kata nya nggak di angkat angkat. Maka nya nelpon ke ayah."
Gue baru ingat. Ternyata waktu buat lamaran, disitu juga gue cantumkan no bokap agar kira nya jika no gue nggak aktif, ada alternatif lain.
Dan entah kenapa. Suara bokap yang biasa nya terdengar ngeselin, jadi suara paling merdu bak alunan musik klasik, yang terdengar asik. Ah... ternyata "kebetulan" itu belum mau belok :')
Komentar
Posting Komentar