Kita selalu di buat tawa oleh beberapa adegan film kartun. Dominasi cerita film kartu biasanya berkutat pada sisi ke bodohan si tokoh. Semisal tom si kucing dalam serial Tom and Jerry. Berkali kali dia mencoba menangkap Jerry dengan cara cara konyolnya, tetapi tetap saja endingnya selalu berimbas kepada dirinya sendiri.
Melihat kebodohan Tom yang selalu gagal dengan segala taktiknya, bukan membuat kita geram dan greget, malah membuat kita bisa tertawa lepas. Kita sedang menertawakan kebodohan. Kebodohan yang di ciptakan oleh orang lain.
Nyatanya, kebodohan Tom yang bisa kita tertawakan, tak berhasil di implementasikan di situasi kisruhnya dunia politik saat ini. Menjelang pemilihan, suasana bisa begitu memanas karena kita tak pernah bisa tenang melihat (yang kita anggap) kebodohan di depan mata. Lawan politik kita adalah sumber kebodohan itu sendiri. Bodoh karena memilih pilihan yang mungkin kita anggap salah. Pun sebaliknya, disebrang sana mereka pun juga berfikir demikian. Sama sama tak bisa terima ada kebodohan di depan mereka. Dari kebodohan yang Nampak, atau kebodohan yang di cari cari.
Padahal kebodohoan yang kita yakini hanya sebatas perspektif. Kenapa saat heboh ‘unicorn’, kita dengan perkasanya menganggap itu suatu kebodohan dan tak pantas terucap dari salah satu kandidat? kenapa pada saat salah ucap dari Al Fatihah menjadi Al Fateka, kita begitu resah dan rasanya ingin menghujat habis habisan? Kenapa kita tak bisa mengambil celah lain, dan menertawakannya dengan santai?
Kenapa kita bisa begitu bahagia saat menyaksikan film kartun, dimana si tokohnya selalu menampakan kebodohan? Iya.. karena sebelum menyaksikan, kita sudah bisa berdamai dengan kebodohan itu sendiri.
Melihat kebodohan Tom yang selalu gagal dengan segala taktiknya, bukan membuat kita geram dan greget, malah membuat kita bisa tertawa lepas. Kita sedang menertawakan kebodohan. Kebodohan yang di ciptakan oleh orang lain.
Nyatanya, kebodohan Tom yang bisa kita tertawakan, tak berhasil di implementasikan di situasi kisruhnya dunia politik saat ini. Menjelang pemilihan, suasana bisa begitu memanas karena kita tak pernah bisa tenang melihat (yang kita anggap) kebodohan di depan mata. Lawan politik kita adalah sumber kebodohan itu sendiri. Bodoh karena memilih pilihan yang mungkin kita anggap salah. Pun sebaliknya, disebrang sana mereka pun juga berfikir demikian. Sama sama tak bisa terima ada kebodohan di depan mereka. Dari kebodohan yang Nampak, atau kebodohan yang di cari cari.
Padahal kebodohoan yang kita yakini hanya sebatas perspektif. Kenapa saat heboh ‘unicorn’, kita dengan perkasanya menganggap itu suatu kebodohan dan tak pantas terucap dari salah satu kandidat? kenapa pada saat salah ucap dari Al Fatihah menjadi Al Fateka, kita begitu resah dan rasanya ingin menghujat habis habisan? Kenapa kita tak bisa mengambil celah lain, dan menertawakannya dengan santai?
Kenapa kita bisa begitu bahagia saat menyaksikan film kartun, dimana si tokohnya selalu menampakan kebodohan? Iya.. karena sebelum menyaksikan, kita sudah bisa berdamai dengan kebodohan itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar