Langsung ke konten utama

Berbagi Sejadah Tak Ada Hubungannya Dengan Sisi Kedermawanan

Jam 11.40 saat saya keluar rumah, untuk shalat jumat. Saya kira, halaman mesjid masih kosong. Ternyata saya keliru, ramadhan yang membuat volume mesjid jauh lebih cepat penuh dari biasanya.

Saya mencoba mencari sisi kosong di lantai 2 mesjid, tapi ternyata shaf sudah mulai rapat. Dengan lapang dada, terpaksa saya gelar sejadah di sisi luar mesjid, yang berbatasan dengan sisi anak tangga. Samping kiri nya ada material bangunan, seperti kayu dan semen sisa sisa pembangunan mesjid.
Saat itu, baru saya yang menggelar sejadah disitu. Saya mencoba fair, jika memang saya terlambat, maka saya tidak akan dapat tempat yang nyaman didalam.

Tak lama kemudian, jamaah sudah mulai datang. Beberapa orang yang datang masih berharap untuk bisa masuk ke dalam dengan duduk di anak tangga. Berharap saat shalat di mulai, dia bisa masuk ke dalam dengan memanfaatkan space yang tersisa.

Saya berfikir sejenak, padahal di samping kanan kiri saya masih kosong. Ya cuma memang, tempatnya kurang nyaman. Tapi its ok sih, nggak buruk buruk banget.
Tak lama kemudian, sisi kanan dan kiri saya sudah diisi oleh beberapa orang yang datang. Sementara mereka yang duduk di anak tangga masih menanti saat saat bisa masuk ke badan mesjid.

Disamping kanan saya, seorang anak muda, kisaran 20 tahunan. Memakai kaos dan celana jins. Sengaja nggak bawa sejadah, entah karena alasan apa. Beban moral menghinggapi diri saya. Apakah saya harus berbagi sejadah ke orang ini, atau cuek bebek seolah pura pura nggak peka.
Khatib mulai khatbah, sementara saya masih enggan untuk merentangkan sejadah ke pria ini. Sebenarnya alasannya lebih ke "mager" aja karena lagi asik dengerin ceramah. Atau mungkin nanti aja, jika shalat sudah mau di mulai.

Selama ceramah berlangsung, pria disamping saya kedapatan tertidur. Hal itu saya sadari, karena beberapa kali kepalanya menyentuh lengan lengan saya, dan beberapa kali juga terbangun denga cepat. Sayang perlengkapan jumatan saya kurang lengkap, jika ingin menambah pahala sedikit, mungkin sudah saya kasih selimut dan bantal agar mendengkurnya bisa lebih kontiniti.

Ceramah sudah hampir selesai, sementara pria samping saya masih tertidur, dan beberapa orang yang ada di anak tangga masih menanti space kosong di dalam. Saat muadzin khomat, pria tadi terbangun dari mimpi indahnya. Sementara beberapa orang yang ada di anak tangga mulai pasang badan untuk berebut tempat. Sebagian dari mereka ada yang berhasil, ada yang tidak. Mereka yang tidak berhasil menyisakan 2 orang yang tereliminasi dari kerasnya kompetisi. 1 orang dewasa, dan 1 anak anak.

Saya fokus ke orang dewasa tadi. Imam sudah mulai takbir, sementara orang tadi belum dapat tempat. Wajahnya sedikit kebingungan, space untuk di lantai 2 udah nggak ada lagi. Bisa aja sih, dia turun ke bawah, dan shalat di area jalan yang memang tersedia luas. Tapi ya, saya paham kok perasaan orang orang yang gagal di medan perang, dan harus menanggung rasa yang.. ehm malu di hadapan orang banyak lantaran harus turun ke bawah, melintasi jamaah yang sudah mulai shalat.

Imam sudah mulai baca al fatihah sementara saya masih belum takbir. Saya masih penasaran dengan apa yang bakal di lakukan orang ini. Dan apa yang di lakukan dia? Yup, dengan terpaksa dia shalat di tumpukan anak tangga. Saya langsung bertanya, gimana sujudnya? Gimana duduk di antara 2 sujudnya? Gimana tahiyat akhirnya?  Oke karena saya sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan tadi, saya mulai takbir dan fokus ke shalat.

Tapi rasa penasaran saya belum hilang. Saat sujut, saya bangun lebih awal agar bisa memperhatikan orang itu. Tentu saja ini salah ya, tapi ya oke hanya satu kata, saya penasaran. Ternyata saat sujud, tentu saja dia meletakan kepalanya di atas anak tangga yang lebih tinggi. Jelas ini tak membentuk sujud yang sempurna. Saat duduk di antara dua sujud pun sama, hanya setengah bagian kaki yang menempel di ubin, sisanya mengatung. Jelas ini juga tak memenuhi syarat tahiyat akhir, sebab salah satu syaratnya posisi jempol harus menghadap ke kiblat.

Pria samping saya? Tentu saja tak memakai sejadah. Saya benar benar lupa akan hal ini. Tapi mungkin bisa jadi ini punishment kecil kecilan buat si pria samping saya. Emang enak shalat sambil nyium pasir.

Perkara ibadah, memang harus di persiapkan secara matang matang. Allah lebih menyukai hal ini ketimbang mereka yang menganggap sepele urusan ibadah.

Lakukanlah hal hal yang dapat memberikan kemudahan dalam hal beribadah. Saat niat tahajud, tantangannya adalah ngantuk. Untuk itulah, jangan tidur malam. Persiapkan sedetail mungkin, dimulai dari jam tidur, pasang alarm, surat yang ingin di baca, doa yang ingin dipanjatkan, dengan begitu, hal hal yang mengganggu ibadah, bisa di cegah.

Membawa sejadah dari rumah bukan perkara yang sulit. Jika yang mudah saja mereka tidak bisa lakukan, apa iya dalam urusan ibadah, mereka bisa di katakan serius?
Kalau aja pria di anak tangga tadi mandi lebih awal, pakai baju yang terbaik, memakai wewangian dan berjalan menuju mesjid, mungkin dia bisa shalat dengan nyaman tanpa harus shalat di anak tangga.

Perkara berbagi sejadah tentu saja baik. Tapi tidak berbagi sejadah bukan berarti buruk, pelit, kikir, maruk, anti sosial, dan nyinyiran lainnya.
Dalam kasus ini, bukan perkara pelit atau tidak pelit. Dalam kasus ini, cuma satu pointnya. Serius atau tidak serius dalam hal beribadah.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

12 Hal Sederhana Yang Bikin Cewek Kelihatan Sexy

Kita, para cowok sepakat, kalo makhluk paling lebay di dunia ini adalah lawan jenis kita, cewek. Terutama dalam hal penampilan. Silakan angkat tangan bagi cewek yang nggak jadi pergi Cuma gara gara lipstick nya abis. Silakan ngangguk yang merasa nggak pede Cuma gara gara belom alisan. Dan ayo ngaku, siapa yang merasa diri nya paling berdosa Cuma karna papasan sama orang yang pake baju sama?

8 Pamer Yang lagi Kekinian

Nggak ada yang salah sama sikap pamer yang di mililiki tiap seseorang. Bahkan, sedari kecil, kita udah di ajarin orang tua kita buat punya sikap pamer. Kita emang nggak pernah inget, tapi kalo kita sering liat ada seorang ibu dan bayi nya yang lagi di kerumunin ibu ibu lain nya, cara pamer yang ia gunakan nggak jauh jauh dari.. ‘’hayo.. muka jelek nya mana muka jelek.’’ Setelah nya, si ibu dan teman teman nya tertawa dan bangga karna anak nya bisa di ajarin muka jelek. tapi kalo yang di suruh begitu gue, susah banget. Mengingat wajah gue yang.. susah buat jelek. disatu sisi, Gue khawatir aja, begitu gede, hal itu akan di ingat si anak dan berkata.. ‘’ooh.. jadi ini orang yang dari kecil bilang gue jelek?’’ sambil megang belati.

5 Alasan Orang Sulit Move On

Ini mungkin akan menjadi semacam cerminan diri buat orang orang yang kenyataan nya masih belum bisa berdamai sama situasi, alias belum bisa move on. Perlu di ingat, tulisan ini mungkin hanya bisa membantu menyadarkan diri kalian dari keterpurukan yang selama ini kalian alami. Bukan untuk mengobati. Urusan bisa move on apa nggak, itu lahir dari keinginan sendiri yang kuat untuk melangkah kedepan.   Move on itu pilihan. Pilihan untuk mau melangkah ke arah yang lebih baik, atau nggak. Yang menjadi masalah dari setiap individu adalah, dia gembar gembor bilang kalo diri nya udah move on, sementara hati nya belum. Masih suka stalk twitter nya lah. Masih suka nungguin sms nya lah. Padahal pas sms bunyi, cuma iklan provider. Masih seneng pas di telpon lah. Padahal di telpon cuma mau ngabisin bonus talktime doang. Iya, kebanyakan orang yang belum bisa move on adalah karna kadar ke-geer-an nya tinggi. Padahal dunia tau, dia bukan siapa siapa nya lagi.