Memang
benar apa yang dikatakan orang, peperangan yang paling susah dalam hidup ini
adalah peperangan melawan diri sendiri, terutama dalam hal melawan yang namanya
keinginan versus kebutuhan, ini masih sangat rancu untuk membedakan dua hal
tersebut. Terlebih lagi kalau menyangkut soal eksistensi, kebanyakan orang
rela melakukan apa aja untuk menjadi manusia urban seutuhnya.
Kalau kemampuan belanja dan hedon-hedonan lo jangan pernah
melebihi kemampuan lo dalam mencari uang, karena yang ada lo akan menjadi kelas
menengah ngehe. Makan siang seratus ribuan, ritual ngopi 60ribuan, gym sebulan
500ribuan, belum lagi ada adegan minum-minum cantik setiap harinya, memang
sangat bagus untuk konten di sosial media lo, begitu banyaknya kegiatan yang
bisa membuat orang lain bilang “wah, keren juga nih orang” tapi dari semua
biaya yang lo keluarin setiap harinya dan lo kalikan selama sebulan, apakah
sepadan dengan gaji lo? Kalau gaji lo di atas 10 juta, aman, kalau dibawah,
berarti lo akan bersahabat baik dengan mi instan di tanggal tua.
Enggak tau kenapa gue selalu antusias membahas persoalan kelas
menengah, karena spesies jenis ini sangat banyak terlihat di Jakarta, sebuah
kelas dimana orang-orangnya sangat rela menyicil 24 kali demi menggenggam
sebuah iPhone 6s, ditambah cicilan mobil LCGC dan cicilan lainnya yang
kemungkinan besar akan menghubungi orang tuanya kembali ketika enggak mampu
bayar. Pertanyaannya, apakah ketika melakukan semua itu diri kita akan bahagia?
Kalau bahagia, ya silahkan lanjutin siklus itu, kalau enggak, ya jangan
dilakuin.
Karena ternyata kebahagiaan itu sangat subyektif, ada definisi
yang berbeda tentang kebahagiaan dari setiap orang. Kalau kita telaah lagi
ternyata bahagia itu enggak ribet dan enggak perlu ribet, bahagia akan jadi
sederhana ketika lo membiarkan diri lo untuk bahagia, ketika lo sudah
membiarkan itu terjadi, hal-hal kecil pun akan terasa menyenangkan. Contoh, gue
cukup makan Bakmi langganan aja udah bahagia banget, cukup ke jalan seharian
sambil nenteng kamera, jepret sana jepret sini nggak jelas seneng nya minta
ampun. Naek bis tingkat di hari minggu bareng pacar keliling Jakarta, bahagia
nya gak ketaker, mencet tombol lift terus langsung kebuka enggak perlu nunggu
itu berasa menjadi manusia paling beruntung. masuk ke toko idaman meskipun
enggak beli cuma liat-liat doang udah berasa di surga. Bahagia itu simpel.
Hal yang terbalik justru terjadi pada manusia modern saat ini. Rela
akhir bulan nya nggak makan demi bisa traveling ala ala acara holiday di tv. Atau
bisa keluar masuk mall elite dengan nggak beli apa apa, tapi update location
nya gencar banget. Atau bekerja di perusahaan elite dengan kondisi mental yang
tersiksa, namun berusaha tersenyum karna dia yakin pekerjaan itu banyak di
inginkan orang. Bahagia yang rumit.
Macetnya
Jakarta membuat banyak orang jadi stress, tapi pernah gak kepikiran buat semua
kemacetan itu menjadi nyaman? Cukup YouTube-an karaoke lagu idaman di dalem
mobil atau di atas motor udah bisa bikin seneng, karena menurut gue marah-marah
di jalan itu enggak ada gunanya, sekarang gini, jalanan macet, terus elo
marah-marah, bakal lancar gak tuh jalanan? Enggak, lah! Sama aja tetep macet.
Jadi ya kalem aja, sekut aja.
Yang enggak kita sadari adalah, kebanyakan stress itu terjadi
karena orang-orang terlalu ribet mencari kebahagiaan, sampai rela ngeluarin uang
banyak hanya demi ikut kelas yoga, bahagia sesimpel membalikkan mindset lo,
membalikkan cara berfikir lo, dan biarkan ego lo sesekali untuk menang, jangan
kebiasaan untuk mengalah, manusia itu kalo enggak ada ego ya enggak bakal
hidup. Enggak ada tuh ceritanya mengalah untuk bahagia. Satu yang jadi
masalahnya menurut gue adalah kita dituntut untuk selalu bersikap positif, kita
enggak perlu membahagiakan semua orang, kita enggak perlu membuat semua orang
senang, coba sesekali keluarkan sisi negatif lo, karena ternyata sisi negatif itu
penting tapi bukan dalam konteks kebencian tapi dalam hal yang bisa membuat
diri kita tetap kritis dan menjadi orang yang berprinsip.
Atau beberapa orang tak merasa
bahagia karna mungkin sering membandingkan hidup nya dengan hidup orang lain. Maka
nya nggak heran yang mereka kejar materi, materi, dan materi. Berusaha menampilkan
apa yang terlihat, bukan apa yang di rasa. Manusia itu punya 2 sisi kehidupan. Para
psikolog biasa menyebut nya mainstage dan backstage. Apa yang kita kenakan,
kita punya, itu masuk ke mainstage. Sementara apa yang kita perjuangkan, kita
kerjakan, itu masuk ke backstage. Kadang kita terlalu cepat menilai seseorang Cuma
dari mainstage nya. ‘’ih dia enak ya.. Cuma lulusan SMA tapi penghasilan nya
jutaan.’’ Sementara, dia nggak pernah liat apa yang si lulusan SMA tadi
kerjakan. Nggak pernah tau jam brapa dia biasa nya tidur karna terlalu giat
bekerja, dan jam brapa dia bangun karna harus cepat cepat mengais rejeki diluar
sana. Overall, dia Cuma melihat hasil nya, bukan perjuangan nya.
Nah problem
nya adalah, kebanyakan orang sering membandingkan mainstage orang lain dengan
backstage diri nya. ‘’gila yaa.. gue udah kerja mati matian tapi gaji segini
gini aja. Nah dia yang Cuma lulusan SMA, gajia puluhan juta.’’ Padahal mungkin
aja perjuangan yang dia keluarkan belom seberapa. Akhir nya, buah dari pola
pikir itu menghasil kan yang nama nya ‘’banyak ngeluh’’.
Kunci untuk
menjawab permasalahan itu sebener nya udah terlalu klasik. Bersyukur. Yups,
memang agak kuno tapi percaya sama gue, dengan lo banyak bersyukur, lo akan
mulai berhenti membandingkan kehidupan lo sama kehidupan orang lain. Lo nggak
akan bahagia dan banyak mengeluh mungkin aja karna lo selalu ngeliat ke atas.
Sebagai
contoh, lo yang anak pengusaha, selalu bergaul sama anak konglormerat yang
boker aja cebok nya pake seratus ribuan. Sehingga lo akan ngerasa selalu kurang
aja. Tapi coba lo sesekali maen sama anak anak yang status sosial nya di bawah
lo. Lihat betapa lo adalah manusia paling beruntung karna mempunyai nilai yang
lebih di atas mereka. Ketika lo bergaul sama yang lebih kaya, yang lebih
sukses, jadiin aja itu sebagai motivasi, bukan ajang buat banyak mengeluh. Bahwa
suatu saat lo akan bisa seperti dia, tentu nya dengan perjuangan yang lebih
besar lagi. sementara ketika lo lagi bergaul sama yang lebih susah dari lo,
lebih miskin dari lo, jadiin sebagai ladang bersyukur tanpa sedikit pun
menghina. Sehingga lo sadar bahwa apa yang tuhan kasih selama ini, udah banyak
banget.
Saran gue
mending cari tau backstage seseorang dulu, baru liat mainstage nya. Sehingga lo
akan tersadar kalo perjuangan lo saat ini belum ada apa apa nya.
Kebahagiaan itu
bukan bentuk apresiasi seseorang tentang hidup kita. Kebahagiaan itu tentang
apa yang lo rasa. Tentang apa yang lo nikmati, terlepas orang lain tau apa
nggak. Kalo lo nggak bisa menikmati hidup lo lantara nggak ada yang memberi
perhatian akan hal itu, gimana lo bisa yakin kalo hidup lo bener bener bahagia?
Komentar
Posting Komentar